Monday 12 November 2018

Selamat Hari Ayah

Linimasa ramai dengan ucapan, "selamat hari ayah."

Sejak pagi hingga petang bermunculan foto orang-orang bersama ayahnya disertai ucapan bahkan kisah yang bisa membuat semua orang tersenyum. Senyuman getir atau haru mungkin juga turut bahagia.

Baru kusadari hampir setengah jam aku duduk di teras membaca semua cerita yang ada. Aku memutuskan untuk masuk dan mandi. Kulihat dinding ruang tamu, tak ada foto keluarga. Menghela napas panjang aku melangkah ke kamar dan meletakkan tas sekolah di samping lemari jati warisan kakek pada ibu, lemari yang tetap kokoh meskipun tampak usang dan berdebu, waktu memang bisa mengubah apa saja.
Raut wajah, lingkungan, benda, suasana hati.
Seperti kebahagiaan masa-masa awal hidupku yang berubah menjadi rasa sakit yang bertahun-tahun kurasakan, diam-diam. Karena aku tak ingin ibu bersedih dan menjadi sebab tangisannya juga. Aku tak ingin melihat ia menangis, apalagi tak ada yang ia minta dariku kecuali tetap bergembira. Setelah apapun yang terjadi dan semua upaya ia lakukan demi membuat aku tersenyum dan tertawa. Hidup tanpa kekurangan. Tanpa beban. Membuatnya menangis adalah salah satu dosa besar.

Kuputuskan untuk melakukan sesuatu, mengirim pesan. Hal yang tak pernah ingin aku lakukan setidaknya setelah melihat apa yang ia lakukan pada ibu dengan mata kepalaku sendiri. Kuraih ponselku dan mengetuk lambang surat di sana dan mulai mengetik, "selamat hari ayah."
Lalu sebelum kutekan tanda panah untuk mengirim pesan, kutambahkan kata-kata untuk memperjelas statusnya, "selamat hari ayah, pengkhianat."


L, 121118

Wednesday 7 November 2018

Sore ini hujan turun dengan deras
Suaranya riuh rendah seperti lengkingan anak-anak bermain di taman kota saat sore menjelang
Suara yang terdengar saat semua berebut ingin jadi yang pertama, pertama kali main ayunan, seluncuran, bahkan jungkat jungkit, tak ada yang mau mengalah. Jikalaupun ada, itu dibarengi dengan mata berkaca atau isak tangis bahkan jeritan kecewa dan marah.
Menjatuhkan diri ke lantai seraya meronta-ronta.
Semua ingin menikmati kesenangannya terlebih dahulu, sepantasnya keinginan anak kecil.
Sama seperti air hujan yang sedang kupandangi, mereka seakan berlomba-lomba mencapai tujuannya lebih dulu, jadi yang pertama menyentuh tanah.

Sedangkan aku hanya mampu tersenyum getir memandangi mereka
Aku juga pernah menjadi anak kecil seperti itu
Bahkan sampai sekarang, aku, juga banyak yang lain ingin menjadi yang pertama.
Bahkan setelah usia bertambah tak lagi pantas disebut kanak-kanak, keinginan malah bertambah
Aku dan orang-orang yang seharusnya mampu berpikir dewasa ini menambah pelik semuanya
Selain ingin jadi yang pertama, juga ingin jadi yang terakhir.

Seakan itu belum cukup membuat patah hati, menjerit, meraung, bahkan mampu menangis berdarah-darah, keinginan itu pun bertambah lagi; ingin menjadi satu-satunya.

Hujan makin deras, setelah sekian lama akhirnya hanya terkalahkan oleh suara tangisku yang pecah juga.

L, 070918