Wednesday 8 August 2012

Mengejar Rahasia

Inspirasi: Di Atas Normal - Peterpan


"Syaratnya sudah kamu bawa? " Perempuan tua yang usianya kuperkirakan hampir seabad itu menatapku dengan matanya yang hanya sebesar lubang kancing, tajam.

Aku mengangguk pelan, menatap mulutnya yang ketika berbicara sesekali meludahkan cairan berwarna kuning bata ke mangkuk seng yang sudah berkarat.
Aku bergidik. Bertanya dalam hati, apakah semua orang yang memiliki kemampuan supranatural itu harus memiliki pembawaan dan wajah yang menakutkan?

 "Jangan takut, saya akan mencoba membantumu dari sini, tapi tak banyak yang bisa saya lakukan karna orang yang kita cari sudah meninggal."

Aku terdiam. "Ya Tuhan, ia tahu isi hatiku. Semoga saja ia tak tersinggung." Aku membatin.

 "Kamu sedang haid kan? Bagus! Dengan begitu para roh akan lebih mudah kamu temui." Katanya seraya meraih pakaian Ibu yang aku sodorkan segera saat menanyakan syarat yang ia minta. Pakaian ibu kandungku, perempuan yang membawaku ke Panti asuhan 22 tahun yang lalu.

 "Aku tak bisa menemukan siapa ayahmu, tak ada petunjuk apa-apa dari ini." Mulut penuh kunyahan kapur sirih itu kembali berbicara dan sesekali jempol dan telunjuk tangan kanannya menggosok-gosokkan gumpalan kapur sirih yang sudah menghitam itu di giginya.

Aku mulai merasa mual.

"Apa perempuan ini benar ibumu? Apa kamu sudah siap bertemu dengannya? Dia tak mau memberitahu apapun pada saya. Kamu harus menemuinya sendiri." Aku merinding, semoga saja ibuku tak menyeramkan di sana. Karna Ibu panti bilang dulu ibu sangat cantik. Ya, secantik diriku.
Kemudian aku mengangguk pelan, dan sejenak kemudian menjawab, "siap, aku siap Nyi." Setelah menyadari paranormal itu masih memejamkan matanya sejak tadi.

 "Aku akan memagarimu dari sini, jadi saat kamu berjalan di sana, tak ada yang bisa menyentuh apalagi menyakitimu. Kamu bisa berbicara atau menyentuh dan memeluk ibumu. Tapi ingat, jangan pernah ikut masuk ke tempat yang pintunya berwarna merah!
Jangan! Karena sekali kamu masuk, maka kamu tak akan bisa kembali lagi.
Dan kami terpaksa memakamkan kamu di sini."

Baiklah kali ini aku mulai merasa takut, kerimgat dingin mengalir, aku menutup mulutku rapat-rapat menahan diri agar tak mengeluarkan sepatah katapun, jadi Nyi Rohaya tidak akan membatalkan semuanya karena tahu aku sangat ketakutan. Aku mulai berpikir akan melanjutkannya atau tidak, proses pencarian yang disebut Lis sebagai hal gila, mustahil dan di luar batas normal.

"Kamu ga harus melakukannya Mia, Reza mau menerima kamu apa adanya.
Orangtuaku, Ibu Panti, semua tak keberatan menjadi wali di pernikahanmu. Keluarga Reza juga mengerti. Jangan Mia, perasaanku ga enak. Hidup kita sudah baik-baik saja. Sudah normal. Kamu ga perlu mengejar hal yang ga pasti. Ga perlu mencari tahu apapun tentang masa lalumu, bagaimana jika apa yang kamu tahu nanti malah akan melukaimu?
Aku takut Mia, kamu sahabatku, aku ga bisa ngeliat kamu ngambil resiko ini." Lis menangis sesegukan sambil memelukku.

"Lis, kita sudah di sini, sudah telanjur. Aku harus tahu kebenarannya. Walaupun itu akan menyakitiku. Aku ingin tahu alasan kenapa harus hidup dan besar di panti! Aku harus tahu sebab penderitaan dan kesepianku hidup sebagai yatim piatu selama 22 tahun! Aku harus tahu siapa ayahku! Jadi menemukan ibuku dan bertanya padanya aku rasa masuk akal, meskipun harus mengejarnya ke akhirat sekalipun. Ibuku harus membuatku mengerti. Setelah aku tahu alasannya, aku akan puas." Jawabku angkuh. Lis memelukku. Aku membalas pelukannya, erat.

"Aku sayang kamu Lis, sebagai sahabat, bahkan kalau boleh sebagai saudara yang tak pernah akan aku miliki. Kalau sampai batas waktunya aku tak pulang lagi, tolong kubur aku dengan layak dan ceritakan semua yang kamu ketahui pada siapapun yang bertanya."

Lis mengangguk sambil terus mengusap air matanya. "Aku sayang kamu Mia, kamu saudaraku. dan akan selalu begitu. aku janji akan melakukan semua yang kamu minta. tapi aku mohon, kembalilah secepatnya atau minimal tepat waktu, berjanjilah, aku mohooonnnn... berjanjilah...."

Aku tersenyum getir. Mengangguk. Lalu berbaring di dipan rotan milik Nyi Rohaya, memejamkan mata, sebelum paranormal itu menutupi seluruh tubuhku dengan kain kafan putih, melumuri kepalaku dengan air perasan jeruk purut yang sudah dicampur dengan air dingin dan bunga 7 warna.

"Ingat, waktumu tak lama, ibumu memakai pakaian yang sama dengan yang kamu bawa tadi, jika ia menangis, itu artinya waktumu akan segera habis, segera berbaliklah darinya, tutup matamu dan jangan sekali-sekali menoleh ke belakang lagi, ikuti suara saya yang memanggilmu dari sini. sekarang pejamkan matamu dan berjalanlah lurus ke depan nanti." Aku menganggukkan kepala, menurut.

***************

Aku memejamkan mata lagipula wajahku memang sudah tertutup kain sejak tadi dan mendengar Nyi Rohaya mulai membacakan entah mantra apa berulang-ulang sambil sesekali menyebut namaku. Lalu bergumam, berdendang, dan makin lama terdengar makin bising di telinga. Mataku mulai perih, mungkin jeruk purut itu yang jadi penyebab, lalu telingaku terasa berdengung, refleks aku menutup telinga, dan seketika aku merasa sunyi dan sangat dingin, dingin yang menusuk tulang, lalu pelan-pelan membuka mataku dan seketika melangkah mundur, "tempat apa ini?" batinku sambil melihat sekelilingku yang sangat asing.

Aku melangkah pelan, kanan dan kiriku gelap, berkabut, lalu aku ingat untuk terus maju, hanya dalam hitungan 4 langkah aku mendengar suara di depan sana, "Sini nak, sini... Yang kamu cari ada di sini..."
aku memicingkan mata mencoba memperjelas pandangan, melangkah mendekati asal suara perlahan, aku menemukannya...!
"Ibu, aku kangen." Jeritku penuh haru setelah memastikan perempuan itu memakai pakaian yang sama dengan yang aku bawa ke rumah Nyi Rohaya. Pelukannya terasa hangat, rupanya seperti ini pelukan seorang ibu yang lama aku rindukan.

Perempuan itu mengusap rambutku dan menghapus airmataku yang entah sejak kapan menetes. ia menggandeng tanganku. lalu aku dibawa ke suatu tempat dan melihat apa yang terjadi di dunia, iya di dunia semasa ia hidup. semuanya terjadi di depan mataku, seperti layar televisi raksasa dengan gambar yang sangat jelas, melebihi film 3D yang aku tonton menggunakan kacamata khusus di bioskop, tak ada yang tak jelas, bahkan kabut yang sempat membuat mataku perih saat baru sampai tak ada sedikitpun.

Aku mulai mengerti. Pelan-pelan. Aku mulai memahami. Perempuan yang kupanggil ibu ini dihamili lelaki bajingan yang menolak tanggung jawab untuk dipanggil ayah oleh anaknya nanti.
Pria beristri dan mata keranjang itu, berbohong, ia tak menepati janji untuk meninggalkan istrinya yang saat itu juga sedang hamil bahkan setelah istrinya melahirkan pun ia tetap berkilah dan mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab.
Kemudian apa yang aku lihat membuat tubuhku gemetaran. Ibuku yang sedang hamil besar mengambil bayi mereka. pulang ke rumahnya yang sempit di daerah kumuh pinggiran kota. Melihatnya melahirkan hanya dibantu dukun beranak kampung. Aku melihat diriku sendiri dilahirkan ibuku. Aku menangis, terharu.

Tapi apa yang kulihat selanjutnya membuat tubuhku menggigil tak karuan.
Tanganku dingin, lebih dingin dari ruang-yang-entah-apa-namanya-ini. Aku merasa kakiku lemas, aku tersungkur, dan kali ini tangisanku bukanlah karena haru. Tapi marah, benci, aku mulai mencaci, mengeluarkan sumpah serapah kepada perempuan yang tadinya  kupanggil Ibu. Aku merasa sangat dingin dan napasku makin cepat, tepatnya terengah-engah, entah karena amarah yang hampir meledak atau menyadari aku pergi sejauh ini hanya untuk menghancurkan hatiku sendiri!

Di depan mataku, aku melihat ia memindahkan gelang, kalung, juga gelang kaki, menukar popok yang terbuat dari kain katun dan indah milik bayi yang ia culik dengan popok sederhana milik bayinya sendiri. Kemudian setelah menitipkan bayi yang ia culik kepada tetangganya, ia membawa bayinya ke panti asuhan dan meninggalkan bayi itu diam-diam di depan pintu panti asuhan dan beberapa hari kemudian datang membawa bayi yang ia culik ke panti asuhan yang sama, mengakui sebagai ibunya dan menitipkan pada ibu Meta.

Jadi bayi yang ia lahirkan bukan aku. Aku bayi yang diculik itu. Kali ini aku benar-benar tak bisa menahan diri, jadi seharusnya aku yang ditemukan, bukan Lis. Seharusnya aku yang  hidup bahagia bukan Lis. Seharusnya aku benar-benar menjadi perempuan yang paling beruntung itu. Bukan lis. BUKAN LIS!!!!!!!

Kamu benar Lis, kenyataan yang aku dapat sangatlah menyakitkan. Seharusnya aku tak perlu mengejar perempuan itu dan menemukan kenyataan pahit seperti ini, seharusnya aku tak perlu tahu masa laluku, dan akhirnya menemukan alasan kenapa aku harus dibuang ke panti asuhan sangatlah keterlaluan. Dan orang yang sangat keterlaluan itu ibumu Lis, ibu dari orang yang kuanggap sahabatku, saudaraku, yang ternyata perempuan simpanan ayahku yang ingin membalas dendam.

Aku mengangkat wajahku, menatap perempuan itu, ibumu. Ia menunduk, wajahnya basah, ia menangis. Lamat aku dengar suara Nyi Rohaya memanggilku, "sudah waktunya pulang nak, berbaliklah, segera, ayo jangan tunggu lagi, kamu sudah terlalu lama, berbaliklah dan pejamkan matamu!"
Suara itu bergema di telingaku, berulang-ulang, makin lama makin cepat dan makin mirip sebuah jeritan. Tapi amarah menulikan telingaku, aku bangun dengan cepat, berusaha meraih perempuan itu, berusaha menarik pakaian ibumu, tapi ia sepertinya sudah tahu apa yang akan aku lakukan.
Ia menghindar, berlari, dan aku mengejarnya,  aku ingin mencekiknya, membuatnya mati kehabisan napas, membuatnya mati lagi dan lagi, karena membuatnya mati dua kali pun tetap tak akan membuatku puas karna sudah membuatku menderita sebagai yatim piatu selama 22 tahun. Mengecoh semua orang sehingga yang ditemukan adalah Lis anaknya, bukan aku.

Aku terus mengejarnya, sesekali pakaiannya hampir kuraih, membuatku makin bersemangat mengejarnya. Tapi kemudian terlepas hingga aku terus mengejarnya. Dan lalu ia tiba-tiba berhenti berlari. aku menabraknya, membuatnya terjatuh.
"Kena kau, kali ini kamu akan merasakan mati sekali lagi, dan akan kupastikan ini lebih menyakitkan dari sebelumnya!" aku mengumpat, menjambak rambutnya, menamparnya, meludahinya, mencakar wajahnya sekuat tenaga.
Ia tak melawan Lis. Dia diam saja. Malahan tersenyum seraya menghapus airmatanya, airmataku dan mengusap rambutku yang berantakan karna kelelahan berlari dan seakan sadar usahaku untuk membunuhnya adalah sia-sia.

"Tinggallah di sini nak, aku tahu kamu sangat ingin bertemu denganku kan? Selamanya, di hatimu, aku adalah ibumu, bukan istri bajingan itu. Aku juga Ibumu nak. Aku menyusuimu, menyanyikan lagu agar kau tertidur lelap di pelukanku, aku memandikanmu, memastikan kamu kenyang, memastikan tidurmu nyenyak, saat anakku sendiri sejak lahir kutinggalkan di panti asuhan."

"Kamu perempuan iblis!" Caciku sambil menepiskan tangannya.

"Itu juga yang diucapkan mamamu. Tapi papamu selalu memanggilku 'Malaikat Cintanya' karena itu aku serahkan semua, aku percayakan hidupku di tangannya. Dan setelah tahu itu hanya kebohongan, semua kebohongan, aku memilih mati, karena hidup yang aku impikan, hidup bahagia yang pernah ia janjikan tak akan pernah bisa terwujudkan." Ia menatapku dengan lembut Lis. Tatapan dari seorang ibu yang aku rindukan selama ini, Aku mulai merasa bersalah karena kasar pada ibumu.

"Tapi kenapa kamu harus menyakitiku? Kenapa harus membuangku dan membuatku menderita selama ini? "

"Tidak lagi, mulai hari ini aku akan merawatmu, aku akan menyayangimu dan menjadi Ibumu. Karena kamu pantas jadi anakku, hanya kamu yang merindukan dan mendoakanku setiap malam."

"Aku ga mau!" Aku berusaha mundur dan melepaskan pelukannya, Lis. "Jemput saja anakmu. Aku mau kembali, aku akan menikah dengan lelaki yang mencintaiku. Aku akan punya orangtua. Hidupku akan jauh lebih baik. Aku akan bahagia." aku merasa jeritan histerisku cukup keras dan bisa menghancurkan tempat itu jika saja terbuat dari kaca, tapi sayangnya bukan..

"Terlambat."

Aku melihat ke arah di mana perempuan itu menunjuk, di depan mataku, aku melihat bayanganmu Lis, memeluk Reza. "Tidaaakkkkkkk! Tolooonggggg......!" Ini ga mungkin, ini ga boleh terjadi, aku menjerit semakin kuat, suaraku seperti dengung radio yang tak ada siarannya nada tinggi yang menyakitkan bahkan telingaku sendiri. Berharap Kamu, Reza, Mama, Papa, Nyi Rohaya, Ibu Meta, siapapun bisa mendengarku. Bisa menolongku.

"di sini waktu berjalan cepat, satu menit di sini adalah satu hari di dunia nak, kamu sudah pergi terlalu lama. Sudah terlambat. jasadmu pasti sudah dikuburkan." Suara Ibumu membuat tangisku makin menjadi, tubuhku terasa tanpa tulang.

Aku berbalik, tubuhku yang terasa lemas tak mampu berlari membuatku berusaha secepatnya berjalan menyeret kakiku menjauh dari ibumu, memejamkan mataku, berdoa, berharap segera terbangun di kerasnya dipan reot dari rotan milik Nyi Rohaya. Di rumah sederhana di pinggiran kali yang bahkan aku tak tahu namanya.  Aku berharap ini hanya mimpi, mimpi seperti namaku Dremia. Tapi aku merasa membentur sesuatu. rasa penasaran membuatku membuka mata dan kulihat jelas pintu tinggi berwarna merah tertutup di depanku.

**************
(Dua hari sebelumnya)

 "Siapa sih yang ga punya rahasia dalam hidupnya? Kamu? Aku? Siapapun pasti punya, sekecil apapun, termasuk orang tuamu! Jadi biarkan saja rahasia itu, tinggalah denganku dan keluargaku."

 "Kamu bukan aku, ga akan sekedipan matamu merasakan jadi aku, apa pernah kamu bayangkan sudah 22 tahun hidup dan mungkin untuk selama umurmu tak tahu siapa orang tuamu? Pernah?!"

 "Oke! Terus mau kamu apa? Ngacungin pisau ke Ibu panti dan maksa mereka ngasih tahu kamu, sesuatu yang bahkan mereka ga pernah tahu?! Please Mia, please, kamu jauh lebih beruntung daripada siapapun yang kamu kenal!"

 "Termasuk kamu? Ohh come on Lis, kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu sudah bertemu orangtuamu!"

"Aku mencoba menganggap keras kepalamu itu sebagai kelebihan yang bikin aku betah jadi sahabatmu, Dremia!"

Aku diam. Memandangi Relysta. Memandangi punggung yang sering kusandari saat lelah berlarian di halaman panti, rumah yang kami tempati sejak kecil itu menjauh. Menghela napas panjang dan mulai mengusap air mataku sendiri.

Lis ga akan pernah ngerti. Aku ga seberuntung apa yang ia katakan. Setidaknya jika dibandingkan dengan dirinya. Hanya mencicipi 16 tahun sebagai anak panti dan merayakan ulang tahun yang ke 17 di Hotel Mulia, hotelnya orang gedongan karena akhirnya ditemukan orangtua kandungnya. Membuat hidupnya berbalik 180 derajat.
Dan aku? Aku masih terjebak dengan rutinitas panti hingga usiaku sekarang, 22 tahun, tak tahu apa-apa soal siapa orang tuaku selain hanya tahu ibu meninggal dunia sehari setelah meminta ibu Meta merawatku, orang yang sama selama 22 tahun seterusnya kupanggil ibu hingga hari ini. Bangun jam setengah 5 pagi, membantu menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, membereskan rumah, lalu berangkat ke kantor berjejalan dengan penumpang lainnya di dalam mikrolet, kujalani 1 tahun lebih, tahun-tahun sebelumnya hampir dengan rutinitas yang sama, ga.. Re ga akan ngerti ini, sebelum tamat SMK saja ia sudah menikmati jok mobil papanya yang empuk, tak merasa kepanasan, tak pernah kehujanan, dan tak pernah kelelahan mengantri mikrolet, atau bus. Meskipun akhirnya ia tak bisa bebas ke mana-mana sepertiku setelahnya. Jadi wajar saja ia berpikir usahaku menemukan orang tua kandung adalah gila!
Aku memang mulai gila, setidaknya memikirkan tak punya ayah sebagai wali di pernikahanku nanti adalah mimpi buruk bagi perempuan manapun.
Aku ingin hidup normal juga Lis, sama seperti yang kamu dapatkan sekarang,  lagipula tak salah rasanya aku berharap, siapa tahu ayahku masih hidup, dan ada di suatu tempat. Tempat di mana hanya ibu kandungku tahu letaknya.


 *****

 "Lis, aku sudah menemukan cara mudah untuk sekedar tahu siapa orang tua kandungku, dan tebak, aku sudah berhasil membujuk Reza agar setuju!"

 "Reza? Kamu sudah ngasih tahu semua ke dia?"
 Kupikir sebagai calon suamimu memang ia berhak tahu apapun rencanamu, termasuk masalahmu. Toh kalian akan berbagi apapun setelah menikah nanti. Iya kan?!

Aku diam, pelan-pelan mengangguk mengiyakan. Lis benar. Reza harus tahu harapan terbesarku selain menikah dengannya dan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kami kelak adalah menemukan Ayah.

"Sekarang beri tahu aku apa rencanamu..!" Katanya terburu-buru.

Setelah aku menceritakan semua usahaku untuk menemukan ayah, Lis hanya bisa terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "ini gila! Gila!" katanya berulang-ulang.
"Iya, tapi cuma ini satu-satunya kesempatan yang aku punya."
"tapi ini sangat bahaya, Mia,kamu yakin orang itu bisa melakukan ini? dan kamu bilang ada kemungkinan kalau..."
"sttt.... Tolong coba ikut berpikiran positif, aku akan menemukan ayahku, Lis. Akhirnya aku akan punya Ayah."
"Aku harap kamu temukan apa yang kamu cari." Matanya berkaca-kaca seraya memelukku erat. Aku hanya bisa mengangguk.

Ingatanku kembali saat ia menceritakan bagaimana ketika bertemu orangtuanya.
Re menceritakan bagaimana cara orang tuanya berhasil menemukannya di panti asuhan ini yang letaknya terpencil di perkampungan penduduk. Cara yang juga di luar nalar, tapi berhasil. Hanya berbekal popok dan foto bayimu, mereka mendapatkan info dari seorang paranormal, orang pintar, cenayang, ahh apalah namanya. Yang jelas ia tahu kalau anaknya disembunyikan orang yang menculiknya di panti ini. Bahkan ia dengan tepat menyebutkan bahwa nama bayi mereka dimulai dengan huruf "R" .
Aku terbelalak, dan tak lama kemudian mataku mengerjap penuh harapan. Kalau benar begitu, tak akan sulit menemukan orang tuaku. Pasti!!

 Aku ingat saat itu meloncat kegirangan, gadis 16 tahun yang kesenangan ketika tahu sahabatnya akan segera berkumpul dengan orangtuanya.Aku  memeluk Re dengan kencangsaat itu hingga ia menjerit-jerit mengeluh sesak napas.
"God, this is not a good news, this is Heaven! "Surga Lia, ini berita dari Surga! S U R G A !!! " Kataku masih sambil meloncat kegirangan.

"Berbahagialah untukku, Lis"
Lis tersenyum. Ia mengangguk, matanya berkaca-kaca, aku terdiam, aku tahu kaca-kaca itu akan segera berhamburan sesaat lagi, ahhh Lis sangat sentimentil, hal kecil saja bisa membuatnya menangis haru, apalagi kali ini, sahabatnya ini, aku, akan segera menemukan ayahku!!! Wohoooo!!!! Aku menjerit kegirangan!


 ****


- It is (Maybe Still Not) THE END -







Lia,
08 Agustus 12
persembahan kecil untuk Peterpan.